Mental Happy Ending




Pernah aku merasa kecewa dan tidak terima hanya karena suatu film berakhir tidak sesuai harapan. Dan boleh jadi banyak yang sefrekuensi denganku di dunia ini, bahwa film yang baik adalah yang berpihak kepada penonton. Happy ending adalah resolusi yang dinantikan setelah emosi itu lelah menyaksikan adegan2 yang menegangkan, konflik yang menyedihkan, dsb. Namanya saja hiburan, masa pada akhirnya bikin penonton kesal.

Yang jadi ironi adalah, ketika konsep di atas kita gunakan di dunia nyata yang mana kita tau bahwa dunia ini hakikatnya adalah ujian, bukan hiburan.

Ada berapa banyak orang di dunia, mendadak rajin shalat2 sunnah, bermunajat siang dan malam, meninggalkan hal2 yg haram, agar urusannya dilancarkan. Akan tetapi ia tidak sabaran, urusannya makin tercerai-berai, hingga ia bosan meminta, dan melupakan hijrahnya.

Mereka ingin segala bentuk usaha perbaikan diri itu dibayar kontan semata-mata di dunia. Berhijrah, menikahi orang yang shalih/ah jamil/jamilah, mendapat rezeki luas dan barakah, mati husnul khatimah.

Kenyataannya kadang tidak demikian, Margono. Adalah keniscayaan ketika di tengah-tengah perjalanan hijrah, kita mendapatkan tantangan alias diuji untuk membuktikan kepada siapa hijrah kita ditujukan. Ada yang dipanggil dekan jurusan atau manajer perusahaan karena jilbab yang kebesaran. Ada yang diberi SP oleh atasan karena kerap mangkir kerja kala panggilan shalat berjamaah tiba. Lantas apa sikapmu selanjutnya?

Pernah ada teman yang curhat, "mba disini aku kerja harus pake baju lapangan, jadi belum bisa pake rok.. Tapi gajinya besar..", dan serta merta hijab itu tanggal dari badannya yang elok.

Di ruang dan waktu yang berbeda sahabatku berkisah, "aku susah bangun subuh karena kerja dari pagi sampai malam", alhamdulillah ia memilih resign dan kini ia terbebas dari penjara korporat yang telah banyak merampas waktu ibadahnya yg berharga. Ia juga mendapat pekerjaan yang lebih baik dari sebelumnya.

Tetapi ada juga kisah lainnya, resign dari bank ketika jabatan menjulang, mencoba berbagai mata pencaharian yang halal, tetapi hidup berkesusahan. Hampir2 orang yang menyaksikannya akan berkata "gara-gara berhijrah hidupmu jadi susah kaya gini.. Mendingan kaya dulu".

Kalaulah kita ingat perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang arab badui, ‘Sesungguhnya tidaklah Engkau meninggalkan sesuatu karena ketakwaan kepada Allah Ta’ala, kecuali Allah pasti akan memberikan sesuatu (sebagai pengganti, pen.) yang lebih baik darinya.” (HR. Ahmad no. 20739. Dinilai shahih oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth.)

Pertanyaannya bukan kapan janji Allah itu tiba? Tapi kenapa aku menjulurkan hijabku? Karena apa aku meninggalkan pekerjaan yang haram ini? Untuk siapa kupersembahkan hijrahku?

Boleh jadi tidak semua yang berhijrah mendapatkan balasan yang megah di muka, tapi yakinlah ganti Allah yang spektakuler telah menanti di akhirat sana. Karena Rasulullah pantang berdusta. Karena mustahil Allah mengingkari janjiNya.

Dan itulah happy ending yang sebenarnya.
Keep istiqomah, margono. Tetaplah tegar, bambang. Allah tidak menyia-nyiakan sekecil pun amalan kalian.

Popular posts from this blog

Perbedaan Penulisan pada Mushaf Kemenag dengan Mushaf Rasm Utsmani cetakan Madinah

Mad Badal - Meringankan Syiddah

Hanya sebentar saja

Sajak Rindu

Tips Membuat CV Ta’aruf, Bonus Format Instan

Yonika

Tahapan Menuju Pernikahan yang Syar’i untuk para Jomblo