Pelajaran yang Berserakan #2



Mengulur Waktu

Pak dosbing memotivasi "kalau mba punya paper, insyaallah akan lebih dihargai kalau daftar s2".

Aku yang tau diri ketika melihat IPK-ku yang tidak spektakuler menjadi terinspirasi untuk segera menyelesaikan paper dan mendaftarkannya di international conference terdekat yang tidak mengharuskanku untuk bersafar. Hitung2, mengisi waktu sembari menanti jadwal wisuda agustus mendatang.
Aku teringat dengan prinsip charles kettering : perkara pentingnya adalah bergerak. Tidak ada sejarah penemuan besar yang dilakukan dengan duduk santai di sofa. Alhamdulillah paper kami diterima untuk dipresentasikan di conference dan dijanjikan untuk dipublish di sebuah journal internasional seadanya tapi masih berindex scopus dan dengan berbaris2 catatan revisi.

Sebulan sebelum wisuda, dengan nervous dan menanggung malu yang sejadi-jadinya, aku peserta dengan busana paling suram, dan satu2nya (calon) sarjana di ruangan tersebut, terpaksa maju ke depan mempresentasikan paper kami di hadapan bapak ibu mas mba yang bergelar master dan phd, dengan bahasa inggris yang paling buruk yang mungkin pernah mereka dengar. Saking nervousnya, aku bahkan melompati slide demi slide dengan ngebut dan dengan cerobohnya langsung mengakhiri presentasi dengan menyisakan 1 atau 2 slide yang sangat penting untuk ditampilkan. (Lega ya nulis kejadian paling embarrassing in life).

Aku kembali ke tempat duduk dengan membawa beberapa PR dari para peserta conference karena aku tak bisa menjawab beberapa pertanyaan mereka. Yang terngiang2 adalah pesan terakhir ibu moderator sebelum aku kembali ke tempat duduk, "you could ask our questions to your supervisor later". Kakiku sudah lemas, lidahku kelu, jantungku seakan lelah berdegup. Aku hanya bisa membalas dengan sebuah anggukan dengan wajah kecut di balik cadar. Aku merasakan dilatasi waktu yang menyiksa selama 15 menit yang diberikan padaku di depan sana. "Ah dasar einstein", Batinku kesal.. belakangan kuketahui bahwa ibu moderator tadi adalah reviewer utama paperku.

Seusai hari hari simposium yang terasa panjang, target revisi paper seabrek menanti dan partnerku diterima magang di suatu perusahaan.   Tandanya, aku tak bisa merepotkannya sebanyak sebelumnya. Gawat. Pun tak lama aku diwisuda sehingga status dan hak2 konsultasi kepada pak dosen sebagai mahasiswa ikut tercabut karenanya. Bahan bakarku sekarat.

Sembari mengedit paper dengan mode khas pemalas, di dunia nyata aku memulai karirku sebagai pengangguran. Agenda harianku adalah jalan2, mengantar jemput lindi ke RS ambil data, nongkrongin wisma qonitah, makan, kajian, sosmedan, dst. Pemasukanku yang seperti EKG mayat atau persamaan garis y=(nilai n yang menyedihkan) -alias datar- mencegahku untuk membeli barang mewah seperti : buku2 baru. Bahkan di beberapa momen aku mengalami kondisi yang dikenal dengan besar pasak daripada tiang.

Sampai di rumah, aku kerap diberondong dengan pertanyaan2 yang membuat batinku tegang. "Kamu kapan mau daftar s2?", " Sampai mana persiapanmu?", dst. Sejatinya orang yang paling yakin bahwa aku harus melanjutkan studi adalah papa. Aku? Aku bahkan tak yakin seberapa urgennya untuk memiliki cita2 atau sepenting apa kuliah pascasarjana. Bahkan di satu sisi batinku berbisik seakan ada yang salah, tapi aku belum menemukan letaknya. Tapi yang kupahami saat itu adalah :jalani saja semua wasilah kebaikan yang kau mampu untuk menuju surga'. Birrul walidain bukan pengecualian. Maka untuk menghormati kepercayaan papa padaku aku tetap menerjemahkan semua berkas2 yang kubutuhkan untuk mendaftar. Aku berburu info2 beasiswa dan jadwal2 intake universitas2 yang kutuju. Sekedar untuk menghadirkan jawaban yang menenangkan. "Masih proses", batinku melanjutkan 2 kata berikutnya 'mengulur waktu' hehe.

Bersambung

Popular posts from this blog

Tips Membuat CV Ta’aruf, Bonus Format Instan

Perbedaan Penulisan pada Mushaf Kemenag dengan Mushaf Rasm Utsmani cetakan Madinah

Komik berfaidah #4

Mad Badal - Meringankan Syiddah

Apa itu Tauqifiyah?

5 Video Podcast Paling Menginspirasi

Tips Manajemen Waktu