Agar Mereka Dikenal, Agar Mereka tidak Diganggu


Setelah mengantisipasi rasa gengsi dan takut diledek orang – orang, Aku mulai beranjak dari parkiran meninggalkan motor legend yang telah menemaniku sejak SMA. Aku clingak – clinguk memastikan tidak ada orang yang mengenali, kemudian berjalan berusaha melihat hanya kepada langkah kakiku dan mulai menyisiri koridor menuju ruang kuliah. Tapi masa depan memang kadang tak sesuai harapan. Yang kukhawatirkan pun menjadi keniscayaan. Ada yang mengenaliku!

“weh sav! Cadaran sekarang? Sudah kuduga kamu pasti bakal cadaran!” ujar seorang teman seangkatan.

“Wow, what was that?” Batinku nyengir terkesima.

Hari itu adalah hari pertama kuliahku di semester 4 prodi Teknik Mesin. Hari itu juga adalah hariku memulai kehidupan kampus secara resmi menggunakan cadar. Dan, nothing happened. Aku tak tau harus bergembira atau curiga. Kukira kisahku akan semenegangkan kisah muslimah bercadar yang viral di sosial media. Tapi alhamdulillah, memang begitu adanya. Tidak ada kejadian negatif atau tanggapan yang berarti sejak aku mengenakan cadar di kampus yang notabene perbandingan jumlah mahasiswa dan mahasiswinya adalah 105 : 7. Tidak ada perubahan yang signifikan pada sikap para dosen, staff tata usaha, teman seangkatan, senior, maupun ibu kantin langgananku dalam memperlakukanku.

Tebakanku, mungkin karena sejak awal masuk kuliah aku sudah menggunakan jilbab besar bahkan masker saat berkendara, sehingga menambah kain berukuran 30 x 25cm di wajahku yang mungil saat kuliah tidak menjadi suatu lonjakan yang luar biasa. Pun peraturan di kampus tidak ada yang menghalangi atau melarangku hanya untuk menampakkan identitas agama dan prinsip yang aku anut. Orang tua? Mama justru telah bercadar lebih dulu beberapa minggu mendahuluiku, Alhamdulillah. Jadilah aku sedikit menyesali rasa gengsi yang menahanku selama tiga semester yang lalu dari melaksanakan salah satu syari’at dalam agamaku... “ah, tau gini dari dulu aku cadaran”.

***

Karakter penyesalan memang letaknya di belakang. Berangkat dari dalil eksplisit dan implisit di dalam Al-Qur’an dan hadits – hadits nabi, para ulama telah bersepakat akan adanya syari’at cadar bagi wanita muslimah. Sudah semestinya seseorang muslim mengedepankan iman dan taat tanpa banyak berdebat ketika berhadapan dengan wahyu Allah. Tetapi yang terjadi adalah Aku mengamini terjemahan firman Allah ta’ala dalam surat Ath-Thalaq yang artinya,

 “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath – Thalaq 65 : 2-3)

Namun aku melupakan esensinya ketika aku pertama kali mempertimbangkan untuk bercadar atau tidak saat kuliah. Padahal begitu banyak keuntungan yang kurasakan ketika aku memutuskan untuk mengenakannya.

Rutinitas

Aku menjalani rutinitas perkuliahan sebagaimana mahasiswi lainnya. Aku tiba di kelas kemudian menaruh tas di satu kursi kosong dan mengambil tempat duduk di kursi sebelahnya, tepat di depan meja dosen yang identik dengan kursi anak ambis. Bukan karena aku ambis, hanya saja di jurusan kami, shaf terdepan memang selalu yang paling sedikit diminati dan yang belakangan terisi. Kalau aku rajin, aku beruntung mendapatkan shaf paling belakang atau di tengah – tengah untuk beberapa mata kuliah yang strategis dengan posisi tertentu. Tapi itulah aku, tidak ingin menonjolkan diri dengan gelar mahasiswa rajin sehingga memilih datang agak belakangan. Ah, aku memang rendah hati :D.

Tak lama dosen masuk kelas dan kuliah dimulai seperti biasa. Aku menyimak pelajaran, mencatat, bertanya dan menjawab pertanyaan dosen, dan sesekali menguap di balik cadar tanpa harus membuat dosenku tersinggung. “haha, asik.. makan permen atau coklat pun ga bakal ketauan..”, Batinku menyeringai merdeka. Dan memang di beberapa kesempatan kuliah yang lain aku berhasil merealisasikannya. Cukup manis untuk membuatku terjaga beberapa jam mendengarkan ceramah tentang mekanika fluida. Aku sangat gembira.

Kuliahku senantiasa berakhir tanpa konflik seperti tiga semester sebelumnya. Aku bergaul seperlunya dan berdiskusi dengan teman maupun senior seperti biasa, sebagaimana aku bersikap di hadapan mereka sebelum aku bercadar. Lantas aku pulang melenggang tanpa ada yang memperhatikanku dengan pandangan heran atau skeptis. Demikianlah hari – hari yang kulalui pada umumnya.

Aku sangat bersyukur kepada Allah yang telah memberiku taufiq untuk bercadar dan melapangkan dada rekan – rekanku di kampus untuk tetap menghargaiku. Aku semakin yakin ini adalah bentuk kemudahan yang Allah berikan dengan aku meluruskan niat dan menyingkirkan rasa takut dan gengsiku untuk bercadar di kampus. Walhamdulillah.

Komunikasi

Alhamdulillah, sebagaimana janji Allah, ketika seseorang berupaya untuk bertaqwa pasti Allah hadiahkan jalan keluar pada setiap perkara tanpa lupa menghujani barakah di setiap langkah taatnya. Sulit untuk mengorek momen kelam yang kualami sejak memakai cadar. Kalau ingin dipaksakan mencari kenangan yang kualami ketika aku belum bercadar, tentunya bisa. Tidak banyak.. tapi bermakna.
Aku sempat memperhatikan perbedaan perlakuan rekan mahasiswa sebelum dan setelah aku bercadar. Contohnya ketika semester awal masuk kuliah. Aku masih ingat berkali – kali harus menahan emosi kepada beberapa temanku yang suka menepuk bahuku ketika hendak berkomunikasi denganku. “gausah pegang – pegang bisa kali. Gue juga noleh kok kalo dipanggil..”, keluhku sinis.

Pun di semester – semester berikutnya, ketika aku harus menemui dosen – dosen atau tamu di luar forum kuliah, tak jarang mereka menyodorkan tangannya mengajakku bersalaman. Aku tak habis pikir.. kukira jilbab besar dan gamisku sudah cukup mewakilkan ‘keyakinanku’ bahwa menghindari bersalaman sungguh tidak mencederai rasa hormatku terhadap lawan bicaraku.

Tapi ketika aku mengenakan cadarku, aku tak pernah capek – capek untuk menjelaskan kepada siapapun entah itu sesama mahasiswa maupun dosen, bahwa aku tidak berkenan bersentuhan maupun bersalaman dengan lawan jenis. Dan mereka tidak tersinggung bahkan memakluminya. Alhamdulillah.

Perbedaan yang paling aku sukai adalah dari cara berkomunikasi. Aku sudah sangat memaklumi adat anak mesin ketika mereka mengobrol sesama mahasiswa. Bahasa yang kasar, topik yang mostly tidak berbobot, bahkan terkadang konten pembicaraan yang tidak senonoh lengkap dengan sumpah serapah kerap mengisi majlis – majlis tongkrongan mereka.

Dulu, aku harus menjauhi atau lari dari majlis tersebut karena tak ingin terkena beban syariat untuk Nahi Munkar selagi bisa.. hehe.. Alhamdulillah setelah bercadar, kehadiran sosokku yang berlabel kaku, tukang ceramah sok alim, dan membosankan ini sudah cukup membuat mereka merasa tidak nyaman, sehingga mereka memilih untuk mengganti topik atau diam, tanpa aku harus berceramah sungguhan.  Tak jarang ada yang salah tingkah. Padahal aku belum berkomentar apa – apa. Ajaib. Seakan – akan  aku datang, orang – orang langsung ingat akhirat. Bahkan pernah suatu hari ketika aku berada di lab gambar, seorang teman melihatku dan tiba – tiba setengah berteriak “Aduh, baru inget, aku belum sholat cuy”. Warbyasah.

Proyek Terpadu & Kompetisi

Suatu hari di semester 4 aku dan teman – teman mendapat tugas dalam mata kuliah proyek terpadu. Kami dibagi menjadi beberapa kelompok dan diminta untuk menyusun proposal proyek pembuatan suatu produk keteknikan yang akan direalisasikan pada mata kuliah lain di semester berikutnya. Dan seperti biasanya, mahasiswi yang jumlahnya terbatas harus dibagi sehingga jadilah aku bersendiri dalam kelompok yang dihuni 10 mahasiswa lainnya. Sudah ditentukan, kami akan membuat Pallet Jack atau Forklift sederhana dengan hidrolik, yakni, sebuah kereta dorong kecil yang biasa digunakan di gudang pabrik yang mampu mengangkut material dengan berat hingga ratusan kilogram.

Budaya mahasiswa teknik mesin, rapat dan tugas kelompok lazimnya dilakukan di area sekretariat Keluarga Mahasiswa (KMTM) yang letaknya terpencil dari gedung utama jurusan. Ka-em kami kerap menyebutnya, adalah tempat yang paling aku hindari karena terlalu banyak laki – laki di dalamnya. Empat angkatan aktif ditambah beberapa atau banyak ‘mahasiswa legenda’ yang betah kuliah sarjana datang silih berganti menggunakan ruangan tersebut.

Tapi ada yang berbeda pada tugas kelompok kali ini. Menyadari aku yang tak banyak bicara, ketua kelompokku dengan arif bertanya,

“..gini aja.. untuk rapatnya saviera aja yang tentuin tempatnya dimana”.

Batinku melonjak girang.

“Yaudah KPFT aja fix!”, sahutku dengan bangga.

KPFT adalah gedung pusat fakultas teknik yang selalu paling ramai dari pagi hingga malam hari. Jadilah kami menyusun rancangan proposal proyek dan berbagi tugas di KPFT. Bagian terbaiknya? Aku diberi jatah menghitung kapasitas hidrolik yang dibutuhkan menggunakan analisa statika bersama seorang anggota lainnya. Maksudku, aku tidak perlu pergi kemana – mana untuk survey harga material atau bergadang bersama mendesain, mensimulasi, mencari referensi sana sini untuk menyusun kerangka proposal berikut bait – bait kontennya. Pun hubungan dengan anggota lainnya, kami sepakati semua dilakukan lewat grup di Line dan email tanpa harus tatap muka kecuali mereka 10 orang lainnya.

***

Begitu pula yang kualami di semester berikutnya. Pada mata kuliah wajib Proyek Kompetisi, kelompok kami tertuntut untuk menciptakan fisik rancangan dan perhitungan Pallet Jack yang sudah kami buat di semester yang lalu. Jadwal penggarapan dan ‘bengkel’ sudah disepakati. Kami bergantian dengan kelompok lainnya untuk menggunakan gedung Manufaktur fakultas karena pekerjaan kami membutuhkan beberapa mesin bubut dan las.

Rekan sekelompokku membagi tugas di antara mereka agar ada yang membeli material dan hidrolik, membubut, meng-las, sampai proses asemblinya. Aku tidak begitu ingat bagaimana proses pembuatannya sejak awal. Yang kukenang hanyalah membayar iuran dan membawakan beberapa snack ala kadarnya untuk teman – teman di bengkel, itu pun tidak setiap hari. Dan di penghujung sore aku akan berceletuk “wah udah mau magrib kayanya”, sehingga pasti ada yang meresponnya “oh yaudah sav, kamu pulang duluan aja, nanti kita yang ngelanjutin.. selow”. Duh baiknya. Padahal aku tahu, beberapa teman mahasiswiku yang lainnya benar – benar terjun sendiri ikut mengotori tangannya untuk bekerja bahkan hingga larut malam. Seakan – akan mereka tidak mendapatkan permakluman yang sama untuk pulang sebelum gelap dan harus menerima ‘risiko’ mereka sejak awal ketika masuk ke jurusan teknik mesin.

***

Aku tak hanya ‘menang’ pada peristiwa atau momen tertentu saja. Tetapi aku menyadari bahwa sejak aku mengenakan cadar, formatku dalam menjalani perkuliahan memang sedikit banyak telah berubah. Teman – teman pergaulanku terseleksi dengan sendirinya. Hanya anak pintar, pendiam, cupu, atau anak kelewat ekstrovert tapi sopan yang berkomunikasi denganku. Dan kebetulan secara akademis, orang – orang seperti mereka-lah yang dibutuhkan mahasiswi oportunis sepertiku :D. Aku juga mendapatkan perlakuan berbeda dibandingkan mahasiswi lainnya dengan atau tanpa aku menginginkannya. Rekan - rekanku memahami makna dan konsekuensi dari busana yang kupakai tanpa aku harus menjelaskan atau menceritakan apa – apa. Aku merasa ‘dikenali’ dengan identitas muslimah yang kubawa bersama jilbab dan cadarku dimana dan kemana pun aku mengenakannya. Dan aku pun tidak diganggu.
Maka benarlah wahyu Allah ta’ala ketika Ia berfirman yang artinya,

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al – Ahzab 33 : 59).

Dan Allah-lah yang memberikan taufiq kepadaku untuk bisa memahaminya, mengamalkannya, dan mendulang hikmah darinya. Walhamdulillah.

Popular posts from this blog

Tips Membuat CV Ta’aruf, Bonus Format Instan

Perbedaan Penulisan pada Mushaf Kemenag dengan Mushaf Rasm Utsmani cetakan Madinah

Komik berfaidah #4

Mad Badal - Meringankan Syiddah

Jangan Nunggu Sempurna

Apa itu Tauqifiyah?

5 Video Podcast Paling Menginspirasi