Cinta yang sempurna



Dalam bab yang berjudul “Pengertian Ushul Fiqh Ditinjau dari Kosakatanya” (pardon my translation) pada syarah waraqat yang membahas tentang ushul fiqh, kita bisa menemukan kalimat penulis matan yang menjelaskan apa makna dari “Ushul” dan juga “Fiqh” ditambah dengan bonus penjelasan tentang makna dari kata “Al Far’u” yang bahkan tidak kita dengar sebelumnya dari judul bab tersebut.

Ushul : Sesuatu yang selainnya terbangun di atasnya a.k.a. Dasar / Pondasi

Far’u : Sesuatu yang dibangun di atas selainnya a.k.a. Cabang

Fiqh : - Pemahaman (secara bahasa)

            - Mengetahui hukum syariah melalui          ijtihad (secara istilah)

Kemudian pensyarah menjelaskan kenapa penulis matan menjelaskan makna ‘Far’u’ padahal ia sama sekali tidak terdapat pada ungkapan “ushul fiqh”... beliau berkata “Karena far’u (cabang) adalah lawan dari Ashl (Dasar), dan segala sesuatu itu akan terang benderang atau lebih dipahami jika disebutkan ‘lawan’nya”... (ini pernah saya singgung juga di Komik Berfaidah #1, hehe)...

So, poinnya adalah bahwa sempurnanya pemahaman kita terhadap sesuatu adalah dengan memahami lawan dari sesuatu tersebut.

Seseorang akan lebih memahami panasnya api ketika dia tau bagaimana dinginnya es. Kita dapat merasakan hakikat pertemanan ketika kita sudah mengalami bilamanakah sebuah permusuhan. Hidup sehat yang hakiki bukan hanya soal olah raga dan istirahat cukup, tapi juga meninggalkan makanan yang membahayakan kesehatan. Sempurnanya Tauhid tak cukup hanya dengan menetapkan bahwa Allah adalah Ilah atau Ma’bud (Sesembahan) dan beribadah padaNya, tapi menuntut kita untuk meniadakan peribadahan/penyembahan terhadap sesembahan2 yang lain (patung berhala, dewa2, dsb). Dengan kata lain, kita dapat menerapkan Tauhid secara sempurna ketika kita betul betul memahami apa itu syirik dan menjauhinya.

Rhetorically, Dapatkah seseorang dikatakan benar2 mencintai kebaikan sementara disisi lain dia juga mencintai kejahatan? Hal yang nature-nya sudah kontradiktif,  mustahil untuk didudukkan bersama..
Maka begitu pula dengan cinta.. Sempurnanya cinta kita terhadap sesuatu adalah dengan membenci lawannya.

Kalau kita benar dan jujur dengan cinta kita kepada Allah, rasulNya, dan agamaNya, maka sepatutnya kita membenci musuh musuh Allah yakni iblis dan pasukannya, membenci nabi-nabi palsu dan orang-orang yang membuat syariat baru setelah islam yang rasul bawa telah sempurna, dan membenci ideologi dan jalan selain yang diridhoi di dalam Agama kita. Itulah yang disebut dengan cinta yang sempurna

Nb: bukan berarti bukti seseorang mencintai suaminya yang berprofesi sebagai pencuri misalnya, dengan membenci polisi yang kerjanya menangkap pencuri. Karena musuh sejati suami yang mencuri bukanlah polisi, melainkan buruknya perilaku atau dosa mencuri tersebut.

Popular posts from this blog

Tips Membuat CV Ta’aruf, Bonus Format Instan

Perbedaan Penulisan pada Mushaf Kemenag dengan Mushaf Rasm Utsmani cetakan Madinah

Mad Badal - Meringankan Syiddah

Komik berfaidah #4

Jangan Nunggu Sempurna

Apa itu Tauqifiyah?

5 Video Podcast Paling Menginspirasi