Komik berfaidah #5

Overwhelmed

Bagi sebagian pembaca buku, kata diatas sangat tepat untuk menggambarkan keadaan mereka kala pertama kali menyambut sebuah buku baru (setelah suka duka menabung beberapa periode) , merobek bungkusnya (this is the best feeling ever), membaca dan menguak pengetahuan2 baru dari buku tersebut.

Ini salah satu alasan kenapa buku2 berbau sains, sejarah atau biografi, lebih saya pribadi sukai dibandingkan novel fiksi dkk. Buku2 bergenre pengetahuan lebih membuka wawasan, informasinya valid, memuaskan keingintahuan, dan mengundang kebahagiaan. Sebuah novel, bisa jadi memuat sekelumit pelajaran, akan tetapi seringnya pembaca lebih digiring untuk hanyut dalam cerita dan konflik yang mungkin itu tidak signifikan manfaatnya ketimbang buku2 non fiksi. 

Tapi intinya semua buku itu ada nilainya. Semua buku disusun  dengan darah dan keringat penulisnya, waktu yang berharga, dan pikiran yang tidak sederhana.

Kala pertama menamatkan sebuah buku, seseorang  akan merasa puas [perasaan ini memicu dopamin yang bikin nagih kaya narkoba*] karena ia dikenyangkan dengan penulisan yang menginspirasi, ilmu yang bermanfaat, sudut pandang yang baru, atau karena mengetahui waktunya habis untuk sesuatu yang pasti. 

Kali kedua ia membaca buku2 tadi? Saya ragu ia akan merasakan kesan yang sama atau sehebat kala pertama kali menamatkannya. Maka setelah itu ia akan membutuhkan buku yang baru untuk merasakan kepuasan semisal kepuasannya yang pertama. Akan tetapi muncul masalah lainnya.  Setelah pengalaman membaca buku yang keren di awal, tak jarang seseorang akan memiliki standar baru tentang sebuah buku yang bagus. Dia akan mencari buku yang lebih bagus dari buku yg telah dibacanya atau minimal semisal dengannya. 

Ibarat memenangkan lotre 1 milyar.. Menang kesekian kalinya dengan jumlah yang lebih sedikit tidak akan memuaskan kita sebagaimana kemenangan 1 milyar tadi. Istilah psikisnya Hedonic Treadmill.

Ini ujian yang dialami semua org yang punya suatu hobi/kesenangan. Kaya film horor atau penggila pedas misalnya, tantangan itu seperti tidak ada ujungnya kecuali dia akhirnya collapse karena heart attack atau kolik, diare, dan semisalnya.

Yang ingin saya sampaikan dari hasil kontemplasi saya,

1. Disini saya menemukan bahwa "lupa" itu terkadang menjadi rahmat. Jadi Tak hanya ketika bulan puasa ramadhan saja, hehehe. Karena "lupa" akan mengurangi efek hedonic Treadmill pada diri seseorang yang membaca buku2nya kedua atau kesekian kalinya (ntah karena udah bangkrut ga sanggup beli buku lagi, atau karena buku berkualitas itu sedikit sekali keberadaannya, atau alasan lainnya). Dengan "lupa" tadi seseorang bisa takjub berkali kali untuk bacaan yang sama. Sayangnya ini jarang terjadi.... Kecuali kamu pikun atau punya alzaimer.

 Jadi endingnya, beberapa buku (baca: novel) akan benar2 sangat2 membosankan ketika dibaca lagi. Karena peluang seseorang melupakan suatu pengetahuan lebih besar/mudah dan lebih sering dibandingkan dengan melupakan sebuah alur cerita*. That's why i buy more science books than novels. Apalagi novel fiksi, cukup sekali baca aku bakal langsung hafal overviewnya dan alergi buat ngulang lagi bukunya. So untuk orang seperti saya yang perhitungan soal nilai, hanya akan beli novel fiksi kalo dia benar2 worthy of my limited money, worthy of perjuangan menabungnya, dan benar2 novel tsb bisa disetarakan dengan bacaan nonfiksi yang berharga (ntah karena  bobot kontennya atau penulisannya) . Contoh: le petit princenya antoine

2. Saya menemukan anomali dari trend dan grafik di gambar (lihat grafik di gambar lainnya). Al Quran dan turunannya, and it would take me to a whole new article to explain. 3 gambaran aja,
¶¶ di usia yang tua, dalam sholat dan rakaat yang kesekian kalinya, mengimami berjuta2 orang yang menjadi rutinitasnya, syaikh sudais menangis -lagi- ketika membaca alfatihah. 

¶¶ Sejarah telah mencatat kalimat-kalimat penuh hikmah dari Utsman bertutur tentang Alquran. Ia berkata,
“Jika hati kita suci, maka ia tidak akan pernah puas dari kalam Rabb nya.” ( Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah).

Beliau juga mengatakan, “Sungguh aku membenci, satu hari berlalu tanpa melihat (membaca) Alquran.” ( al-Bidayah wa an-Nihayah oleh Ibnu Katsir, 10: 388).

Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Bagian dunia yang kucintai ada tiga: (1) mengenyangkan orang yang lapar, (2) memberi pakaian mereka yang tak punya, dan (3) membaca Alquran”. ( Irsyadul Ibad li Isti’dadi li Yaumil Mi’ad , Hal: 88).

¶¶ “Qatadah biasanya mengkhatamkan Al-Qur’an dalam tujuh hari. Namun jika datang bulan Ramadhan ia mengkhatamkannya setiap tiga hari. Ketika datang sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, ia mengkhatamkan setiap malamnya.” (Siyar A’lam An-Nubala’ , 5: 276)

Muhammad bin Idri Asy-Syafi’i yang kita kenal dengan Imam Syafi’i yang terkenal sebagai salah satu ulama madzhab sebagaimana disebutkan oleh muridnya Ar-Rabi’ bin Sulaiman,
ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲُّ ﻳَﺨْﺘِﻢُ ﺍﻟﻘُﺮْﺁﻥَ ﻓِﻲ ﺷَﻬْﺮِ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺳِﺘِّﻴْﻦَ ﺧَﺘْﻤَﺔً
“Imam Syafi’i biasa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan sebanyak 60 kali.” Ditambahkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa khataman tersebut dilakukan dalam shalat. (Siyar A’lam An-Nubala’ , 10: 36). **

Maka Hedonic Treadmill ternyata terjadi juga pada kitab suci ini, Al Quran. But, in different way. Semakin kita membacanya, semakin lapanglah dada, semakin bertambah pula wawasan kita, semakin banyak credits pahala kita, tak ada bosannya, justru kita semakin menginginkannya. 


*citation's needed
**https://rumaysho.com/11162-kisah-menakjubkan-para-ulama-mengkhatamkan-al-quran-dalam-sehari.html








Popular posts from this blog

Tips Membuat CV Ta’aruf, Bonus Format Instan

Perbedaan Penulisan pada Mushaf Kemenag dengan Mushaf Rasm Utsmani cetakan Madinah

Komik berfaidah #4

Mad Badal - Meringankan Syiddah

Jangan Nunggu Sempurna

Apa itu Tauqifiyah?

5 Video Podcast Paling Menginspirasi