Perspektif yang tak pernah usang

     Abdurrahman bin 'Auf bukan PhD ekonomi atau Master ilmu manajemen atau sarjana ilmu komunikasi bukan juga lulusan D3 akuntansi, bahkan ijasah sd smp sma beliau mungkin ga punya (eh emang gapunya), tapi pasar di madinah di masa setelah hijrah, bifadhlillah beliau kuasai, bermula dengan sikap amanah dan takwanya yang beliau bawa di setiap perdagangan dan transaksi.

       khalid bin walid, pedang Allah yang terhunus, apa beliau alumni akademi militer? bukan. namun strategi perangnya, dengan pasukan yang diperkirakan hanya 24000-40000 muslimin, bi idznillah cukup untuk meruntuhkan benteng romawi yang diperkasai dengan 100rb-400rb tentara terlatih dilengkapi persenjataan yang memadai.

        Zaid bin tsabit, katibul wahyi, pengumpul Al Quran. Beliau bukan lulusan sastra, bukan pula yang semisalnya.. bitaufiqillah Memiliki hafalan yang kuat, seorang sahabat multilingual yang beliau mampu menguasai bahasanya orang yahudi dalam kurun 19 hari, memenuhi permintaan kekasihnya, rasulullah.
        
        Para khulafa ur rasyidin, sosok2 pemimpin yang zuhud dan bertaqwa, yang telah memimpin negri negri kekuasaan kaum muslimin dengan saaangat baik, 'adil, penuh hikmah, melakukan banyak penaklukan yang mencengangkan dunia, dan sederet prestasi yang tiada habisnya untuk disebutkan.. Mereka semua bukanlah tamatan sekolah hukum di harvard, atau ilmu politik, dsb..

       Guru mereka semua sama, terlalu retoris untuk dimention.. Malulah kita.. mengingat sikap tak acuh kita terhadap sunnah beliau, mengenang pembangkangan kita terhadap seruan beliau.

      Telalu retoris pula untuk merunut darimana datangnya kemulian dan kejayaan yang ditorehkan para shahabat rasulillah -yang semoga Allah meridhoi mereka semua-, berakar dari keimanan dan ketaqwaan mereka kepada Allah dan rasulNya... Akan mengundang ber hertz-hertz tamparan bahwa betapa kita telah melewatkan begitu banyak pengajaran dari beliau shallallahu 'alayhi wasallam yang telah meluluskan seideal idealnya sosok2 murid juga penerus sang guru.

        Mereka semua tidak pernah mengenyam bangku institusi/organisasi pendidikan dengan sistematika seperti di zaman ini. Tidak pula mereka mengenal istilah 'kurikulum/silabus'. Tapi sejarah gemilang mereka begitu cerah menerangi lembaran demi lembaran sirah yang tak lekang dari waktu ke waktu.

             Oke, mari kita syarah.. Dahulu belum ada sekolah, mentri pendidikan, apalagi lembaga bimbel. 'Sistem' yang ada sekarang adalah perkara 'baru' yang hukum asalnya mubah2 saja. Beberapa sangat baik penerapannya karena sifatnya pembaharuan yang menyederhanakan, menjadwalkan, memudahkan, dan semisalnya. Namun 'pembaharuan' tersebut tidak serta merta merombak standar penilaian yang sudah paten sebelumnya dari quran dan hadits.

  Tidak akan kita temukan di quran dan sunnah algoritma/model untuk menentukan kemuliaan seseorang berdasarkan pendidikan terakhirnya, menilai kecerdasan orang hanya dari gelar atau jurusan kuliahnya, dan sebagainya. Tapi kita temukan di zaman ini kecenderungan yang demikian.

   Begitu banyaknya pengangguran dikarenakan gengsi seseorang yang hanya mau melamar kerja jika gaji yang ditawarkan sesuai dengan syahadah/ijazah yang dimilikinya. Tak jarang seorang anak "terdidik" untuk merendahkan pekerjaan seperti buruh, kuli, tukang, dan sejenisnya, padahal bisa jadi nafkah yang mereka dapat lebih halal dan barokah dibandingkan profesi lainnya. Sehingga persepsi kita akan kebahagiaan, kemuliaan, dan rezeki pun berubah dari yang seharusnya.

       Walhasil sekolah menjadi agenda formal, akan tetapi sebatas mencari nilai dan semakin mengesampingkan moral. Yang seharusnya jadi media mengeksplor diri, kini hanya jadi panggung kompetisi. banyak menghasilkan mencetak siswa berprestasi (secara akademis) tapi miskin dari pembelajar yang terdidik/beradab dan berakhlak mulia.

Dari mana kita mulai? Kenapa sampai ke sini?

        Poinnya adalah bagaimana persepsi kita terhadap sistem  yang 'baru' ini. Bukan berarti dengan mengikuti sistem tersebut, mengkhatamkan seluruh jenjang pada pendidikan formal lantas membuat kita meninggalkan perkara perkara yang telah memperbagus keadaan ummat sebelumnya, para salafush shalih. Atau membuat kita memandang rendah orang2 yang tidak seberuntung kita menamatkan sekolah meski dia seorang ahlul 'ilm di sisi Allah, dan mengagung2kan para liberalis bergelar yang tampil dengan penyesatannya.
          Lihatlah para shahabat rasulillah. Mereka tidak 'bersekolah' menurut istilah kontemporer, namun kehidupan mereka luar biasa baik dan indah penuh dengan barakah. Mereka memenangkan akhirat tanpa ketinggalan menggenggam dunia di tangan mereka. Sedang di masa ini kita tidak mendapatkan keduanya..
         Wallahi, bersegera dan bersungguh sungguh dalam urusan akhirat tidak akan menghalangi kita dari mendapatkan dunia. Tapi justru dunia lah yang menghalangi kita dari kenikmatan akhirat.

Faidah dari beberapa kajian ust. Riyadh                                                                                              

Popular posts from this blog

Tips Membuat CV Ta’aruf, Bonus Format Instan

Perbedaan Penulisan pada Mushaf Kemenag dengan Mushaf Rasm Utsmani cetakan Madinah

Komik berfaidah #4

Mad Badal - Meringankan Syiddah

Jangan Nunggu Sempurna

Apa itu Tauqifiyah?

5 Video Podcast Paling Menginspirasi