Jangan Tukar Seluruh Waktumu dengan Uang
Berapa belakangan ini saya mendengarkan sebuah podcast oleh seseinfluencer yang mengangkat topik seputar keuangan. Dalam podcast tersebut ia menyinggung tentang perjalanannya dalam mengumpulkan dana pensiun dan bagaimana dia bisa memutuskan untuk berinvestasi.
Salah satu hal yang melatarbelakanginya untuk pensiun dini begitu memikat hati saya. Dia tidak bilang “Saya menginginkan financial freedom dalam hidup saya”, tapi dia bilang, “Saya tidak ingin menghabiskan seluruh hidupnya dengan bekerja”. Intinya terdengar sama, tapi frasa yang dia gunakan meninggalkan kesan yang berbeda.
Singkat cerita, demi memenuhi tujuan keuangan tersebut sang influencer memutuskan untuk menyisihkan puluhan persen dari penghasilannya secara rutin dan menyalurkan tabungan tersebut ke beberapa instrumen investasi yang ada. Dengan begitu dia dapat mengembangkan dan mengamankan nilai hartanya melawan arus inflasi. Dan ketika tiba saatnya untuk pensiun seperti target yang telah ditetapkan, dia dapat bersantai dan memenuhi kebutuhan hidupnya dari aset keuangan yang dimilikinya sampai ia mati.
Menarik sekali. Mendengar khotbah tersebut, hal pertama yang saya sadari adalah betapa banyak dari kita yang menghabiskan mayoritas usia kita semata-mata untuk mengumpulkan uang. Hidup kita bergulir dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, dari proyek ke proyek, dari gaji bulan Januari 2020 hingga Januari 2021.
Di sisi lain saya sadar bahwa saya tidak dilahirkan untuk mengumpulkan harta, mengejar angka agar dapat bermegah-megah di dunia yang sudah tua dan akan sirna. Saya diciptakan untuk misi yang agung dan lebih mulia, yakni beribadah kepada Yang menciptakan diri saya dan seluruh jagad raya. Maka sudah semestinya saya menukar seluruh waktu saya dengan pahala.
Jadi apa intinya? Apakah berarti kita harus berhenti bekerja agar bisa mendedikasikan sisa umur kita untuk sembahyang dan puasa?
Meraup pahala tidak melulu dengan ibadah yang mahdhah
Alhamdulillah kita terlahir sebagai muslim. Karena dalam islam, makna bekerja tidak sedangkal menimbun kekayaan agar nantinya bisa hidup berfoya-foya. Dalam islam, hukum asal bekerja adalah mubah (diperbolehkan). Dan ada sebagian pekerjaan yang justru dianjurkan bahkan diwajibkan dengan wajib kifayah (jika sudah ada yang melakukannya, kewajiban tersebut gugur bagi orang lain). Contohnya seperti pekerjaan guru, dokter, ustadz/ulama, dll. Dan kewajiban tersebut utamanya ditujukan bagi kepala keluarga (suami atau ayah).
وعن المقداد بن معد يكَرِب، عن النبي ﷺ قال: ما أكل أحد طعاماً قطُّ خيراً من أن يأكل من عمل يده، وإن نبي الله داود ﷺ كان يأكل من عمل يده, (رواه البخاري)
Dari al-Miqdad bin Ma’dikarib, dari Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam, beliau bersabda : “Tidaklah seseorang makan makanan (secuil apapun) yang lebih baik daripada makanan yang dihasilkan oleh tangannya (dengan bekerja). Dan seseungguhnya Nabi Dawud dahulu senantiasa makan dari hasil jerih payahnya”. (HR. Bukhari)
Mari kita cermati hadits di atas. Secara eksplisit Nabi kita mengatakan bahwa harta yang terbaik adalah yang kita dapatkan dengan bekerja. Dan bekerja adalah cara yang dilakukan para Nabi bahkan juga Rasulullah untuk menjaga kehormatan mereka dan menghidupi keluarga mereka. Rasulullah menyampaikan bukti yaitu Dawud yang notabene adalah seorang nabi dan raja. Bahkan Nabi Dawud pun bekerja. Rasul kita juga berdagang. Nabi Zakariya adalah seorang tukang kayu. Dan seterusnya.
(Faidah lain juga dari hadits di atas yang saya dapat dari Ust. Yulian adalah bahwa harta itu bertingkat tingkat martabatnya. Sebagai ilustrasi, makanan yang kita beli dengan gaji kita, itu lebih mulia dibandingkan yang kita beli dengan harta warisan.)
Lantas bagaimana kita mendapatkan pahala melalui pekerjaan? Jawabannya mudah sekali. Dengan meniatkannya (Ihtisab).
Niat tak hanya berfungsi membedakan antara ibadah wajib dengan yang sunnah, atau membedakan yang ikhlas dengan yang riya’. Tapi Niat juga bisa menjadi selisih antara dua kegiatan yang sama namun yang satu dianggap muamalah semata, dan yang satu dinilai sebagai ibadah yang berpahala.
Bekerja, tatkala kita niatkan untuk menjaga diri dan keluarga kita dari mengemis atau berbuat curang dan kejahatan dapat membuahkan pahala. Tak berhenti disitu, kita juga dapat meniatkan untuk memberikan manfaat kepada orang banyak melalui pekerjaan kita. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa banyak pekerjaan dan profesi itu dibutuhkan dan bermanfaat bagi masyarakat bukan?
Allah Ta’ala berfirman:
وَتَعَاوَنُواعَلَىالْبِرّوَالتّقْْوَىوََلتَعَاوَنُواعَلَىاْلِثْمِوَالْعُدْوَانِ
“tolong-menolonglah dalam kebaikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan” (QS. Al Maidah: 2)
Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam juga bersabda:
خَيْرُ النّاسِ أنْفَعُهُمْ لِلنّاسِ
“sebaik-baik kalian adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ibnu Hibban dalam Al Majruhin [2/1], Ath Thabrani dalam Al Ausath [5787]. Dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no.3289).
Maka, tatkala seseorang tak mampu mencukupi dirinya selain dengan bekerja, silakan bekerja. Dan dia tetap bisa meraup pahala yang banyak dengan meluruskan niatnya dan menunaikan amanah pekerjaannya dengan baik. Dengan begitu dia tidak menukar seluruh waktunya dengan uang saja... right?
Oh ya, dengan catatan.. jangan tenggelamkan diri dengan pekerjaan. Selama harta yang didapat sudah cukup untuk keperluan sehari-hari, gunakan waktu selebihnya untuk belajar dan beramal lainnya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَكُلُوا مِمّا رَزَقَكُمُ اللّهُ حَ َل ًل طَيّبًا ۚ وَاتّقُْوا اللّهَ الّذِِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya“ (QS. Al-Maidah: 88).
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ل َ يَتَصَدّقُُ أَحَدٌ بِتَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍٍ طَيّبٍٍ إِل ّ أَخَذَِهَا اللّهُ بِيَمِينِهِ فَيُرَبّيهَا كَمَا يُرَبّى أَحَدُكُمْ فَلُوّهُُ أَوْ قَلُوصَهُ حَتّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ أَوْ أَعْظَمَ
“Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim).
Referensi :
Kajian Motivasi dalam Bekerja yang disampaikan Ustadz Yulian Purnama saat gathering staff Ussunnah.org, jazaahullaahu khoiron
Comments
Post a Comment