Kenapa Muslim tidak bermusik
Konon kejayaan kebudayaan era Yunani Kuno terjadi pada tahun 546 – 323 SM, dimana ilmu filsafat, kesustraan, seni patung, arsitektur, dan musik menduduki zaman keemasannya. Menurut mitos Yunani Kuno, musik merupakan ciptaan seseorang yang diyakini sebagai manusia setengah dewa yakni Apollo, salah seorang anak Zeus yang dikenal juga dalam teologi Yunani sebagai dewa pemusik. Dan faktanya sejak zaman tersebut musik sangat identik dan tidak dapat dipisahkan dari upacara – upacara keagamaan, terutama bagi para penganut aliran Apollo dan Dionysus (meski keduanya memiliki jenis musik yang berbeda). Bahkan jika kita search “Apollo” pada google, maka akan kita temukan figur atau patung berhala yang memegang sebuah Lyra (sejenis harpa kecil), sebuah alat musik petik yang digunakan untuk mengiringi puisi dalam peribadatan dan acara besar lainnya.
Beranjak ke Romawi kuno ketika manusia masih menyembah kaisar sebagai dewa. Kebudayaan Romawi sangat dipengaruhi oleh Yunani yang terlihat dalam banyak hal, termasuk pemakaian teknologi yunani dalam pembuatan dan pengembangan alat alat musik mereka. Alat musik tersebut kemudian digunakan dalam teater terbuka mengiringi tradisi pertempuran gladiator (budak budak dan tawanan disuruh berkelahi untuk menjadi tontonan dan hiburan) dan hiburan massal lainnya.
Pergantian kekaisaran, berkembangnya agama kristen di tanah Roma, sampai masa kekuasaan kaisar konstantinus, dibuatlah proklamasi Milan yang membebaskan masyarakat untuk beragama hingga tak lama kemudian konstantinus pun masuk kristen. Mulailah gereja gereja dibangun, keyakinan animisme dan sistem agama purba tergantikan, bahkan kristen menjadi agama utama di Roma dan menyebar ke penjuru eropa. Sejak saat itu sampai pertengahan abad ke 18, gereja menjadi pusat kesenian musik bahkan menjadi penyokong utama kesenian Barat. Setelah itu estafet sarana perkembangan musik dilanjutkan oleh aula aula konsert, panggung-panggung teater, dan opera.
Sampai disini kita mantap mengimani bahwa musik merupakan budaya dan adat yang asing dalam agama islam.
Kemudian, apakah perkembangannya mulus mulus saja?
Sekitar 427-347 SM, plato dan aristotle menguraikan teori ethos, yaitu mengenai sifat moral dan efek efek yang dihasilkan oleh musik. Singkatnya, emosi seseorang itu akan dipengaruhi dan serupa dengan sifat atau atribut dari musik yang ia dengar. Dengan kata lain jika ia mendengar musik yang buruk maka ia akan menjadi manusia buruk pula. Dan seringkali para teoretikus menentang musik dalam ibadah dionysia yang dianggap menimbulkan kegemparan dan sifat-sifat yang dianggap kurang baik. Maka beberapa kalangan diktator saat itu berusaha mengontrol kegiatan musik demi kestabilan sosial dan politik.
Di romawi sendiri, musik gereja bermula dari nyanyian monofonik yang dinyanyikan dengan nada dan notasi yang terbatas, serta tanpa iringan instrumen alat musik yang disebut dengan Cantus Planus. Para petinggi gereja saat itu takut akan pengaruh buruk dari musik instrumental. Bahkan generasi tokoh gereja di abad ke 4, Agustinus, meyakini bahwa musik dapat menimbulkan kenikmatan yang dekat dengan hawa nafsu. Bagi para petinggi tersebut, musik instrumental berhubungan erat dengan aspek aspek paling jelek dari kehidupan sekuler di era kekaisaran romawi, termasuk penyembahan berhala, teater dan tuna susila. Bahkan musik organ yang saat ini identik dengan gereja, akan mengingatkan mereka pada hiburan umum di teater terbuka, termasuk penganiayaan orang kristen yang disodorkan pada singa. Beberapa abad berlalu dan tradisi musik gereja bagian barat terbatas pada vokal saja, sementara di gereja Timur, alat musik tidak pernah diperkenankan untuk mengiringi ibadah.
Di era keemasan Renaisans, terdapat tokoh lain yang menentang musik yaitu Ulrich Zwingli, seorang biarawan dan pastor di kota Zurich yang bahkan berbakat dalam musik. Pada tahun 1524, ia menghapus musik dari agenda ritual ibadah yang tiga tahun kemudian organ di gereja Grossmunster ditiadakan. Suara organ tidak dikumandangkan di gereja tersebut hampir 350 tahun. Mengapa ia begitu menentang musik dalam gereja padahal ia memiliki bakat dalam musik? Zwingli meyakini bahwa musik dapat mengganggu konsentrasi pada saat berdoa dan mendengar injil dibacakan.
Saya sudah berusaha seirit mungkin dalam meringkas literatur panjang yang saya baca. Karena akan sangat membuang buang waktu untuk mengorek sejarah panjang musik beserta polemik di dalamnya. Yang ingin saya sampaikan dari uraian di atas adalah, kita mengetahui dari sumbernya sendiri, bahwa musik berdampak negatif pada jiwa atau hati seseorang yang mendengarnya, padahal faktanya model instrumen dan spesies alat musik, teknik2 dalam musik, dan komposisi musik di zaman dulu tidak sebanyak dan "semeriah" di zaman sekarang. Maka bagaimana komentar plato, aristotle, agustinus, atau zwingli jika melihat fenomena musik yang ada di zaman ini?
Saya bahkan belum menyinggung 'hukum musik dalam agama islam, atau musik di sisi kaum muslimin terdahulu dan juga para ulamanya'. Dan tidak peduli bagaimana masif perkembangan musik hingga di zaman ini, pada intinya musik bukanlah bagian dari agama islam yang suci tanpa cela. Sehingga tak layak bagi seorang muslim/muslimah untuk mengadopsi budaya atau seni musik tersebut ke dalam kehidupannya, mengingat pesan Nabi kita Shallallahu'alaihi Wasallam,
Dari Ibn Umar beliau berkata, “Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
‘Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka” (HR Abu Dawud, hasan)
Referensi: Sejarah Musik 1 oleh Dr. Rhoderick J. McNeill (lulusan fakultas musik University of Melbourne, meraih gelar doktor dalam bidang sejarah musik pada 1984. Sejak 1996 menjadi dosen musik di fakultas sastra, University of Southern Queensland, Australia)
Bersambung.
Comments
Post a Comment