You don't judge
Sakit itu sudah berat dipikul. Tapi beban makin bertambah tatkala orang yang melihat hanya bisa mengkritik dan menghakimi.
Aku merasakannya. Adakalanya aku sakit, batuk-batuk misalnya dan membuat orang terdekatku terganggu dengan suara batuk
.
Mereka bisa saja bersimpati dan langsung memberi obat atau minimal memberitahu obat apa yang harus kuminum. Kemudian aku minum obat, batuk hilang biidznillah, selesailah perkaranya.
.
Tapi terkadang mereka justru terganggu dengan sakitku. Mereka kurang berempati. Mungkin mereka lupa kalau mereka pun bisa berada di posisiku. Jadilah aku hanya dihujani dengan saran yang bukannya membuat dada lega, tapi malah semakin sesak karenanya.
.
Mereka bisa saja bersimpati dan langsung memberi obat atau minimal memberitahu obat apa yang harus kuminum. Kemudian aku minum obat, batuk hilang biidznillah, selesailah perkaranya.
.
Tapi terkadang mereka justru terganggu dengan sakitku. Mereka kurang berempati. Mungkin mereka lupa kalau mereka pun bisa berada di posisiku. Jadilah aku hanya dihujani dengan saran yang bukannya membuat dada lega, tapi malah semakin sesak karenanya.
Atau boleh jadi pada asalnya mereka sungguh peduli dengan sakitku. Namun mereka memulai kepedulian tersebut dengan mencari-cari kesalahan dan mengkritik. Jadilah aku terhakimi dengan "kepedulian" mereka, dan semakin menyalahkan diri sendiri. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
Aku pun semakin terluka. Aku lelah dan sakitku tak kunjung mereda. Kuputuskan menjauh dari orang-orang sehat itu, demi kebaikan mereka.
Tapi kuakui, terkadang aku batuk memang karena ulahku sendiri. Aku makan micin terlalu banyak misalnya. Tapi bukan berarti aku menginginkan batuk ini. Aku pun ingin sembuh.
Dan aku akui, aku mungkin sedikit egois ketika sakit, ingin dimengerti tapi berat untuk menerima masukan orang lain. Mulanya aku hanya merasa orang lain tidak memahami derita yang kurasakan, lelahnya batuk sepertiku. Tapi jika mereka tidak sanggup mendengar dan memberikan solusi, setidaknya mereka tidak perlu buang-buang energi untuk menghakimi.
________________
Ilustrasi di atas merupakan sebuah analogi.
Aku dan Mereka adalah Kita Semua. Terkadang kita berada di posisi "aku". Terkadang kita juga seperti "mereka".
Aku dan Mereka adalah Kita Semua. Terkadang kita berada di posisi "aku". Terkadang kita juga seperti "mereka".
Kita anggap anxiety dan depression itu seperti batuk. Karena pada hakikatnya semua penyakit itu sama. Sama-sama diturunkan oleh Allah. Boleh jadi untuk menguji dan mengangkat derajat orang tersebut, atau sebagai hukuman yang disegerakan akibat kesalahannya yang telah lalu, sehingga dengan sakit tersebut Allah mengampuni dosanya dan memberi ganjaran atas kesabarannya. Maka, ujian maupun hukuman yang disegerakan, keduanya sama-sama baik. Keduanya adalah bentuk kasih sayang Allah pada seorang hamba. Tentu saja karena semua orang pasti punya dosa. Dan semua orang ingin diampuni sebagaimana kita ingin derajat kita diangkat di sisi Allah ta'ala.
Maka dari sini setidaknya kita menyadari ketika mendapati kerabat atau teman yang sakit, bahwa ia sakit karena kehendak Allah, bukan kehendak dirinya. Tandanya Allah sedang menguji nya atau Allah hendak membersihkan dosa-dosanya.
Akan tetapi, umumnya kita ketika berada di posisi "mereka", kita memperburuk keadaan. Bukannya memberi dukungan dan bantuan agar teman kita segera pulih, kita justru sibuk menyalahkannya atau malah mencela karena sakit yang dideritanya.
"Makananmu ga sehat sih!", "Makananmu ga bergizi", atau dalam konteks gangguan kecemasan dan depresi, komentar kita terdengar seperti, "kamu sih banyak maksiat, jauh dari Allah", "kamu kurang bersyukur!", "kamu kurang iman, lupa sama Allah!"...
Tapi kan emang gitu? Dia depresi karena jarang baca Quran! Dia ga tenang hatinya karena jauh dari Allah. Ga salah dong gue ngomong gitu?
Seandainya keadaan dibalik. Kita merasa sesak di dada, dunia begitu sempit, kita kesepian, kita depresi dan menderita, kita coba melarikan diri dengan memejamkan mata tapi tak dapat terlelap, tidur pun dihantui mimpi buruk.. Lantas orang disekitar mencoba memperbaiki keadaan kita dengan kata-kata di atas. Apa kita akan mudah menerima? Atau besar kemungkinan kita jera mendengar nasehatnya?
Padahal kalaulah keadaannya benar demikian, ada seribu cara yang jauh lebih baik untuk menasehati dan memperbaiki.
Maka disini kita dapat mengubah situasinya. Tapi bagaimana?
Bersambung...