Ilmu dunia yang tidak diamalkan, gimana statusnya?




Aku pernah punya pertanyaan seperti ini:

Pada hadits لَا تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ ، حَتَّى يَسْأَلَهُ عَنْ خَمْسٍ : عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ ، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ ، وَفِيمَا أَنْفَقَهُ ، وَمَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ 

Pada lafadz وَمَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ (apa yang dia amalkan dari ilmunya) 

Apakah ilmu yg dimaksud adalah ilmu secara umum sehingga misal saya kuliah kebidanan namun pada akhirnya saya tidak menjadi bidan dan tidak memanfaatkan ilmu saya, ilmu tsb dapat menjadi pemberat hisab saya?

Dan saya mendapatkan jawaban dan kesimpulan yang sangat bagus dari ust andy octavian latief hafizhahullah. 

Semua ilmu yang kita pelajari itu akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak, jika konteks yang sedang dibicarakan adalah misalnya: apakah ilmu duniawi tersebut kita jadikan tujuan utama hidup kita melebihi ilmu syar'iy, atau apakah ketika kita belajar ilmu duniawi tersebut membuat kita lupa waktu sehingga melalaikan ibadah yang wajib, atau apakah ketika masyarakat sangat membutuhkan ilmu duniawi tersebut kemudian kita tidak mau berkontribusi dan mengaplikasikan ilmunya. Jika dalam konteks ini, maka tentu semua ilmu yang kita pelajari akan ditanyai kelak di akhirat.

Akan tetapi, apakah ketika kita memilih jalan lain selain ilmu duniawi yang dipelajari saat kuliah itu berdosa (dengan kata lain, tidak mengamalkan ilmu kalkulus yg kita pelajari ketika kuliah misalnya)? Maka ini tergantung kondisinya dikarenakan hukum asal ilmu duniawiy itu bersifat mubah. Dan sesuatu yang hukum asalnya mubah, maka pada asalnya mengerjakannya tidak membuahkan pahala dan meninggalkannya tidak membuahkan dosa. Baru berbuah pahala jika ada faktor lain, dan baru berbuah dosa juga jika ada faktor lain.

Misal, jika kita pernah belajar ilmu tentang perkapalan, lalu ketika jalan di tepi pantai kita melihat perahu nelayan yang kita nilai berdasarkan ilmu kita bahwa perahu tersebut sudah tidak layak untuk dipakai. Akan tetapi kita diam saja, membiarkan nelayan tersebut tenggelam bersama kapalnya. Maka, pada kondisi ini nanti kita akan ditanya di akhirat, mengapa tidak kita manfaatkan ilmu duniawi kita tersebut?

Intinya dilihat apakah kondisinya adalah dharurah atau minimal hajah yang besar, seperti ketika masyarakat membutuhkan sekali ahli di bidang itu sementara masih sedikit yang menguasainya, atau kondisinya di bawah itu. Jika kondisinya dharurah atau hajah yang besar, maka ilmu duniawi tersebut menjadi fardhu kifayah atau bahkan fardhu 'ain baginya. Berdosa jika dia tinggalkan. Jika kondisinya di bawah itu, maka kembali ke hukum asal, yaitu mubahnya meninggalkan sesuatu yang mubah. Tidak berdosa jika dia tinggalkan.

Akan tetapi, mengatakan ini bukan berarti menghalangi kita untuk berkontribusi di ilmu duniawi tersebut. Jika kondisinya di bawah dharurah atau di bawah hajah yang besar, lalu seseorang ingin meraih pahala dengan berkontribusi dengan ilmu duniawinya tersebut, maka ini berpahala. Hukumnya menjadi sunnah baginya. Dan meninggalkan sesuatu yang sunnah itu tidak berdosa, sedangkan mengerjakannya berpahala.

Kemudian seandainya dia meninggalkan ilmu duniawinya tersebut untuk berkontribusi pada ilmu lain yang lebih bermanfaat, maka lebih-lebih lagi tidak mengapa. Itulah jalan yang ditempuh oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh menteri agama Saudi (engineering), Syaikh Muhammad Sa'id Ruslan (engineering), Syaikh al-Munajjid (engineering). Apakah mereka berdosa ketika meninggalkan ilmu duniawinya?

Ada orang Badui yang sudah tahu ilmu tentang ibadah sunnah, tetapi dia memilih untuk tidak mengerjakannya. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tetap bersabda dia beruntung jika dia jujur dan dalam riwayat lain dia masuk surga jika dia jujur. Jika meninggalkan ibadah sunnah saja tidak mengapa, maka bagaimana pula sekedar meninggalkan ilmu duniawi? Lebih lebih lagi. 


Adapun jika seseorang ingin mengambil pahala sunnah dengan berkontribusi dengan ilmu duniawinya walaupun kondisinya bukan dharurah atau hajah yang besar, maka baginya balasannya. Seperti Syaikh Shalih ash-Shalih (medical biochemistry), salah satu murid terbaik Syaikh al-'Utsaimin yang juga profesor di Univ Qashim.

Semoga Allah membalas kebaikan yang menjawab. Aamiin. 

Referensi tambahan (ini dari ustadz aris)  : 

https://khaledalsabt.com/cnt/dros/1993

http://shamela.ws/browse.php/book-36997/page-253

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Penulisan pada Mushaf Kemenag dengan Mushaf Rasm Utsmani cetakan Madinah

Mad Badal - Meringankan Syiddah

Hanya sebentar saja

Sajak Rindu

Tips Membuat CV Ta’aruf, Bonus Format Instan

Yonika

Tahapan Menuju Pernikahan yang Syar’i untuk para Jomblo