Resah
Sungguh menggelitik. Dalam sebuah data
statistik diketahui bahwa delapan dari sepuluh orang Amerika memikirkan
kebahagiaan sekurang – kurangnya sekali dalam seminggu. Terdengar begitu resah.
Bagaimana denganmu? Kalau saat ini kamu seorang berkebangsaan Amerika, mungkin
kamu satu di antara delapan orang tersebut.
Here we are. Satu gambaran saja. Sejak instagram
tak hanya tersedia bagi pengguna iOS, kini para pengguna Android pun tak
ketinggalan zaman untuk ikut serta meninggalkan jejak dalam bentuk piksel
lengkap dengan captionnya. Dari statistik yang dilansir oleh beberapa website
seperti expandedramblings.com, smartinsights.com, dan statista.com, di
penghujung 2016 terdapat 600 juta pengguna aktif dalam satu bulan dan 78 juta
sendiri berasal dari Amerika, 400 juta pengguna aktif per harinya, dan bahkan 150
juta pengguna tercatat membuat snapgram atau instagram stories setiap harinya.
Bayangkan saja betapa banyaknya waktu yang
seseorang habiskan di sosial media? Tak hanya meng-ekspos diri, curhat itu dan ini, atau kode sana sini.. tapi juga
menggulir newsfeed dari pagi hingga pagi lagi, membaca captions, berbalas
balasan di comment, DM dan PM whatsapp, facebook, line, path, sampai instagram.
Seandainya waktu bisa ditabung, dijual, dan dibeli, semua hal di atas takkan jadi persoalan. Karena bayangkan jika setiap orang
membuat satu snapgram berdurasi 15 detik saja dalam sehari, dikalikan dengan
150 juta orang, maka total waktu yang digunakan orang orang ini bisa mencapai
71,5 tahun, dengan asumsi satu hari 24 jam. Padahal terkadang bumi memerlukan
kurang –sedikit- dari 24 jam untuk satu rotasi penuh. Dengan 71,5 tahun kita
bisa 18 kali lulus sarjana, kalo lancar.. haha. Ironis. (bahkan aku tersentak
dengan tulisanku sendiri)
Konon, manusia sangat ingin terlihat, demi
menyingkirkan perasaan sepi, atau agar ia diterima, atau biar update berita,
atau sekedar terlihat sibuk dengan gadget sehingga tidak mati gaya. Kita mengira
kita menjadi senang dengan bersosialisasi di dunia maya, atau karena likes dan
comments yang bertaut di setiap postingan kita. Kita seakan akan merasa begitu
gembira dengan bertambahnya follower akun sosial media kita. Padahal kita lupa
terhadap fakta bahwa kita punya keluarga sebagai teman bercanda dan tempat bercerita,
tetangga untuk diajak bicara, teman sebangku untuk bertanya, dan puluhan orang
lalu lalang yang menanti sapa dan ramah tamah dari kita. Tetapi semua itu tidak
cukup untuk mengalihkan kita dari membuka sosial media. Apa namanya jika bukan
resah? Memang, internet sangat ampuh mengisi kekosongan, tapi tak pernah bisa
mengobati kesepian.
Resah, cemas, kesepian, dan sebagainya
merupakan antithesis dari “Bahagia”. Dan kata ‘resah’ sangat cocok untuk
mewakili keadaan kebanyakan manusia, sebagai inti dari bait bait data di atas.
Kita resah bahkan dalam keseharian kita yang terlihat pada budaya dan bahasa.
Di negara manapun, manusia memiliki lebih banyak kata atau istilah untuk
mengungkapkan emosi negatif dibandingkan positif. Dalam kamus masakan saja
misalnya kita punya hambar, keasinan, kemanisan, pahit, berlendir, menjijikan,
memuakkan, kematengan, tidak enak, tidak sedap, kurang ini, kurang itu, terlalu
ini, terlalu itu, sangat tidak ini, sangat tidak itu, dan masih banyak lagi.
Namun kita terbatas pada “enak”, “lezat”, “sedap”, pas atau cukup, atau hanya
dengan menambahkan kata ‘banget’ dan ‘sekali’ setelahnya untuk respon
positifnya. Kita begitu resah. Dan kita begitu membutuhkan vitamin B. Bahagia.
Yang menjadi isu adalah, kita sendiri tak
memahami hakikat bahagia dan tak tahu kemana harus mencarinya.
bersambung..