Ikan Cilik
Ikan cilik sedang berenang di sisi kolam ketika ia melihat seekor kelinci muda melompat mendekat dengan senyum lebar di wajahnya.
“Halo, Pak Kelinci, kenapa kau terlihat begitu bahagia?”
“Aku baru saja pulang dari sekolah. Tempat yang menyenangkan sekali. Kami menyanyikan lagu, menari, bermain-main, membaca buku, tidur siang, dan makan nasi dan kari. Aku suka sekolah!”
Ikan cilik memutuskan bahwa kedengarannya itu tempat yang bagus. Malam itu juga, ia berenang mendekati ibunya dan menyatakan niatnya untuk
pergi ke sekolah keesokan harinya.
“Kau tidak bisa,” jelas ibunya. Ikan Cilik itu
mengerutkan kening, matanya lesu.
“Mengapa? Aku benar-benar ingin pergi.”
“Sekolah itu di darat. Dan kau ikan. Maaf. Hidup itu tidak adil, tetapi itulah kenyataannya.” Ikan Cilik sedih. Dia tidak bisa tidur. Hidup terasa suram.
Keesokan harinya Ikan Cilik berenang ke tepi kolam dan menjelaskan kesulitannya pada kelinci. Kelinci menjelaskan bahwa dia sudah berbicara pada beberapa hewan lainnya untuk meminta bantuan mereka. Babi berpendapat, “tidak ada alasan untuk membantu ikan—ikan berbeda dengan kita. Mereka bukan bagian dari sekolah.”
Kelinci tidak punya satu pun teman yang
membantunya. Hewan-hewan lain tidak peduli.
Ikan Cilik tidak akan bisa pergi ke sekolah dalam waktu dekat. Namun, setelah ‘berpose’ di tepi kolam yang tampaknya terinspirasi dari patung The Thinker karya Rodin, Kelinci mengalami momen pencerahan. Dia melompat pergi, lalu kembali beberapa waktu kemudian membawa akuarium yang telah dia beli. Dengan gerakan yang cepat dan hati-hati, dia menciduk Ikan Cilik dan membawanya dengan penuh kemenangan ke sekolah. Sesampainya di sana, Ikan Cilik diletakkan di samping papan tulis. Melihat kebahagiaan teman sekelas baru mereka, hewan-hewan lain pun bersorak sepenuh hati (hal.142-143).
Cerita yang disampaikan Wood, dan ditulis oleh seorang anak perempuan 15 tahun dari Sri Lanka bernama Pradeepa itu menggugah secara universal, termasuk seorang peraih Nobel Sastra, Toni Morrison, yang saat duduk dan mendengarkan pada acara tersebut, matanya berkaca-kaca, terharu.
Maka, dengan meminjam metafora anak kecil itu—yang menyiratkan kehidupan anak-anak (tak hanya di Sri Lanka) terbelit kemiskinan, ketimpangan gender, lebih-lebih diskriminasi, dan etnis sehingga mereka sulit mencecap pendidikan, saya merasa bahwa apa yang dilakukan John Wood bersama timnya; apa yang kemudian dicecap oleh anak-anak di pelbagai negara berkembang; adalah laku atau jalan hidup yang tak sia-sia. Laku mereka adalah laku yang tidak membiarkan hambatan-hambatan dalam kehidupan menjadi penghalang. Apalagi laku yang dihadirkan John Wood dalam buku ini adalah laku memberantas buta aksara dan memajukan dunia pendidikan. Dan, dari hal inilah, mengapa Bill Clinton, mantan Presiden Amerika Serikat,
berujar begini, “...apa yang akan terjadi jika ratusan orang mengikuti jejaknya,” yang barangkali, juga ditujukan pada publik pembaca buku ini.
Comments
Post a Comment