Bilamana Bahagia
Dengan nama
Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Dalam
muqoddimah sebuah kitab, sang penulis yaitu Syaikh Muhammad At-Tamimi rahimahullah
mendoakan para pembacanya dengan do’a yang sangat indah yakni, “Aku meminta
kepada Allah yang Maha Mulia, Rabb dari ‘arsy yang agung, agar melindungimu di
dunia dan di akhirat, dan menjadikanmu orang yang diberkahi dimanapun engkau
berada, dan menjadikanmu bersyukur ketika diberi nikmat, bersabar jika ditimpa
musibah, dan memohon ampun ketika berbuat dosa... karena ketiga perkara ini
merupakan tanda kebahagiaan”
Saudariku yang
dirahmati oleh Allah Ta’ala, pernahkah anda merasa bahagia? Ataukah
hidup anda baka dalam derita? Tidak bukan? Semua orang pasti pernah merasa bahagia.
Sekarang mari kita berjinjit mundur, mengenang kembali masa – masa bahagia itu.
Mungkin ketika itu anda sedang merayakan suatu keberhasilan bersama karib
kerabat, dikelilingi pemandangan menawan tak lupa bentangan hidangan penuh
kelezatan. Kemudian, mari ingat – ingat kembali, di antara hal – hal tersebut
dimana letak kebahagiaan anda sesungguhnya? Pada keberhasilan anda? Benarkah
anda akan tetap merasa bahagia dengan keberhasilan anda tanpa rona bangga dan
ceria dari keluarga anda dan tanpa orang orang lain di sekitar anda? Lalu siapa
yang akan mengatakan bahwa ‘anda berhasil’? atau bahagia anda bukan pada
keberhasilan tersebut? Lantas bagaimana jika ‘keberhasilan’ tersebut
dihapuskan? Coba renungkan sejenak…
Urgensi
Mengenal Hakikat Bahagia
Beberapa orang
yang dihadapkan dengan pertanyaan serupa akan kebingungan dalam menjawab karena
faktanya kebanyakan orang bahkan masih meraba – raba dalam memaknai kebahagiaan itu sendiri. Mereka
bingung dalam menentukan batas, menerka – nerka hakikat dari sesuatu yang
‘katanya’ didamba – damba insan se-jagad raya, yang menjadi mata pencaharian di
setiap tapak tilas perjalanan hidup umat manusia, hingga menjadi motivasi utama
bagi jasad ini untuk mempertahankan ruhnya. Kita semua berada dalam angkutan yang
sama kawan, diciptakan oleh Zat yang Esa dengan atribut fitrah dan hawa nafsu.
Bahkan sebelum dunia dan seisinya ada, penulis yakin anda semua tak pernah
menginginkan untuk diciptakan, namun dengan hak prerogatifNya kita pun terlahir
dengan naluri penyuka ‘bahagia’.
Namun,
bagaimana mungkin selama ini kita mencari – cari bahagia tanpa paham hakikatnya
dan jalan untuk mendapatkannya? Sedang yang Maha Mengetahui tentu telah
menyediakan pengetahuan tentangnya. Namun manusia telah tertipu oleh nafsunya
sendiri sehingga tersibukkan untuk mencari sebab, mencicipi satu persatu yang
katanya dan katanya bukan berkonsentrasi terhadap cita - citanya. Pada akhirnya
mengenal kebahagiaan adalah hal yang sangat urgen agar kita selamat dari
‘kesesatan’ dan kesia – siaan.
Hakikat
Kebahagiaan
Sebagian orang mungkin
berpikir bahagia adalah ketika kita hidup kaya dan sukses dengan keluarga yang
lengkap nan harmonis, sebagian lagi mengartikan bahagia adalah terkumpulnya
harta, tahta, dan wanita, dan semisalnya. Ini berarti, ‘sebagian orang’ ini
mendefinisikan kebahagiaan dengan adanya kepemilikan atau pencapaian yang
keduanya merupakan hal - hal yang abstrak dalam sebuah definisi. Seperti, apa
yang disebut dengan kaya, sukses, harmonis? Relatif bukan? Sehingga batas yang
diinginkan pun menjadi semakin samar, sedang definisi merupakan suatu hal yang
terintegrasi dan disepakati meski dijelaskan dengan kalimat atau bahasa yang
berbeda.
Pada keadaan
lain, sebagian orang meyakini bahwa parameter bahagia bukan terletak pada harta
atau tahta namun tanpa ragu menjawab ingin kaya dan berkuasa ketika disuruh memilih
tanpa berpikir panjang. Sehingga terkesan naif jika menolak sebab – sebab ini. Lihatlah,
betapa banyak orang yang menangis bersedih ketika putus cinta, kehilangan harta
atau turun jabatan. Atau betapa banyak orang tua yang terobsesi sehingga menambah
jam belajar anaknya di luar sekolah demi memperbaiki nilai matematika yang
jeblok sedang bersikap biasa saja mengetahui anak tak bisa sholat, mengaji,
bahkan tak mengenal Tuhannya. Inilah ironi di semenanjung negeri bernama
kehidupan. Dan contoh – contoh diatas merupakan realita yang membuktikan bahwa
para ‘pujangga’ bahkan tidak memahami apa makna sebuah ‘puisi’.
Sesungguhnya
tidaklah Allah menjadikan harta, kedudukan dan popularitas, atau nafsu syahwat sebagai wadah kebahagiaan melainkan hati. Karena ketika seseorang
meletakkan ‘kebahagiaan’nya pada indahnya pakaian maka yakinlah pakaian
tersebut akan lusuh dan kusam, dan hilang pula kebahagiaannya, atau jika dia
meletakkan kebahagiaannya pada lezatnya kudapan, maka yakinlah bahwa kelezatan
hanya sesaat, kenyangnya kan hilang dan yang dimakan pun kan jadi kotoran, atau
ketika dia meletakkan bahagianya pada pundi – pundi yang dikumpulkannya maka
yakinlah dia kan mati dan harta pun tinggal jadi warisan, tidak dibawa tidak
pula berguna baginya di kuburan.
Jika bahagia
terletak pada popularitas, tentu tidak akan ada selebriti yang mati bunuh diri.
Atau, jika bahagia terletak pada harta tentu Qarun lebih bahagia dibandingkan Nabi
Musa ‘alaihissalam. Dan jika bahagia terletak pada jima’, tentunya para PSK adalah orang
paling bahagia di dunia. Maka ketika manusia menyandarkan hidupnya kepada
‘sebab’, sungguh mereka telah bersandar kepada sesuatu yang lemah dan tidak
abadi. Sebab hilang, hilang pulalah yang menyertainya. Maka bersandarlah kepada
penciptaNya yang kekal, yang telah menjadikan hati ini sebagai wadah bagi
segala rasa. Hati ibarat raja. Disinilah letak kebahagiaan yang sesungguhnya.
Budak sekalipun dapat merdeka dengan hatinya. Karena hatinya adalah satu –
satunya hal yang tak dapat direnggut darinya. Atau, siapakah yang dapat
memperbudak hati? Semua orang bebas mempergunakan hatinya, dan tak satupun yang
akan tersakiti dengan aktivitas hati kecuali lisan atau badan ikut campur
padanya. Hati itu baru wadahnya. Lantas, mana bahagia?
Bahagia adalah ketika
manusia bersyukur kepada Rabbnya atas segala nikmat, bersabar di atas ujian dan
cobaan, dan meminta ampun atas segala dosa sebagaimana doa yang disebutkan di
awal. Bayangkan, dua orang memiliki rumah yang sama besarnya atau jabatan yang
sama tingginya, atau istri yang sama jumlahnya namun yang satu lebih bahagia
dibandingkan yang lainnya mengapa demikian? Syukurlah pembeda antara keduanya.
Tanpa syukur harta berlimpah takkan pernah terasa cukup.
Dari Ibnu ‘Abbas bin Sahl
bin Sa’ad, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Ibnu Az Zubair berkata di
Makkah di atas mimbar saat khutbah, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Seandainya manusia diberi satu lembah
penuh dengan emas, ia tentu ingin lagi yang kedua. Jika ia diberi yang kedua,
ia ingin lagi yang ketiga. Tidak ada yang bisa menghalangi isi perutnya selain
tanah. Dan Allah Maha Menerima taubat siapa saja yang mau bertaubat.”
(HR. Bukhari no. 6438).
Kemudian, dua orang yang
ditimpa musibah yang sama tapi yang satu nampak tenang – tenang saja seperti tidak
terjadi apa – apa, mengapa bisa seperti itu? Sabarlah sebabnya.
Dan bagaimana permintaan ampunan kepada Allah merupakan sebuah kebahagiaan?
Maka kita jawab dengan pertanyaan singkat, adakah di dunia ini orang yang
berbahagia karena aib dan dosanya? Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang
artinya
“...Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu bahagia.”(QS. An – Nur : 31).
Jalan Merengkuh Kebahagiaan
Ketika
kita telah menyadari bahwa bahagia dibangun di atas rasa syukur, kesabaran, dan
taubat kita kepada Allah yang membolak – balikkan hati dan yang menetapkan
kebahagiaan di hati - hati para hambaNya, maka tidaklah kita mendapatkan
kebahagiaan itu kecuali dengan meraih ketiga hal tersebut. Dan tidaklah ketiga
hal tersebut kita dapat melainkan dengan mendekatkan diri kita kepada Rabb
kita, Allah Ta’ala, dengan banyak mengingatNya, memperbanyak setrta
mengikhlaskan ibadah hanya kepadaNya,
“(yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d :
28)
“Hai
orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang
sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang. Dialah
yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu),
supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan
adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.”(QS. Al-Ahzab :
41-43)
Kemudian menuntut ilmuNya yang menyucikan jiwa
yaitu ilmu yang semakin memahamkan kita akan hakikat syukur, sabar, dan taubat dan bagaimana seseorang dikatakan bersyukur
dan bersabar beserta
keutamaan – keutamaannya, memperbanyak istighfar dan juga berdo’a kepada Allah satu – satunya yang dapat mengabulkan segala permintaan, agar menganugerahi kita kebahagiaan.
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik
dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala
yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl :
97).
Saudariku yang
dikasihi oleh Allah Ta’ala, berbahagialah! Wallaahu a’laamu
bishshawaab. [Saviera Yonita]
Muraja’ah :
Al-Qowaaidul
Arba’ karya Syaikhul Islam Muhammad At-Tamimi
Kajian Ustadz
Ahmad Zainuddin “Nasehat tentang Rezeki dan Harta” (Masjid Pogung Raya, 24 Agustus 2014)
Comments
Post a Comment